Rabu, 08 Oktober 2014

Oleh : Nando Watu Globalisasi telah membawa perubahan yang cukup signifikan. Salah satu dampaknya ialah meningkatnya arus mobilisasi, entah mobilitas manusia dalam berbagai bentuk seperti migrasi turis, refugees, pencari kerja, juga  mobilitas arus uang yang tidak megena batas-batas negara. Mobilitas lain seperti mobilitas teknologi entah mobilitas representasi pencitraan (lewat televisi, radio, film, surat kabar dll) dan tidak kurang pula arus mobilitas ideologi seperti HAM, gender, paham demokrasi dan sebagainya. Semua gejala Globalisasi tersebut dinamakan Culture Flow atau aliran budaya oleh Appadurai (1990).
Sekretaris Tourism Management Organization, TMO KDO Ende
Nando Watu, Sekretaris Tourism Management Organization, TMO KDO Ende
Aliran budaya ini menjadi terejahwantah dalam sebuah fenomena sosial internasional dewasa ini yakni pariwisata Internasional. Sejak tahun 2010 pariwisata telah menjadi industri terbesar di dunia, lebih dari 1 miliar orang berwisata tiap tahunnya.
Dalam skala regional (APEC, ASEAN), pariwisata menjadi salah satu sektor utama pembangunan, secara nasional pariwisata menjadi sektor andalan serta pada tingkat lokal pariwisata menjadi sektor pilihan. Dalam Kontek NTT, MP3EI wilayah Bali dan Nusatenggara masuk dalam zona koridor V, yang mana pariwisata menjadi program unggulan selain perikanan dan peternakan.
Hal ini menggambarkann prospek kepariwisataan tengah berkembang, modal yang harus diinvestasikan demi tujuan kemakmuran masyarakat. Lantas bagamaian sektor yang tengah berkembang secara global ini ditanggapi oleh masyarakat di tingkat lokal?
Pariwisata Berbasis Masyarakat
Pembicaraan mengenai kepariwisataan tidak hanya menyangkut turis atau pendatang, namun lokus penting dalam proses pengembangan kepariwisataan adalah masyarakat. Masyarakat yang adalah pemilik destinasi, pewaris tradisi, dan penjaga kebudayaan, perlu menjadi subjek utama dalam pengembangan dan pembangunan kepariwisataan.
Sebagai subjek dia sebagai kekuatan dasar, untuk itu harus banyak sentuhan pengetahuan tentang kepariwisatan kepada mereka. Apapun program pendekatan pembangunan harus melibatkan masyarakat sebagai tujuan pembangunan sehingga demokrasi dengan pijakan dari oleh dan untuk rakyat mendapat tempatnya.
Lebih lanjut jika menempatkan rakyat, rakyat yang mana? Mayoritas penduduk Flores 80% adalah petani dan nelayan, tinggal di pedesaan, dan pesisir, tinggal dalam realitas yang terkotak dalam komunitas-komunitas adat. Untuk itu fokus utama tentu diarahkan kepada mereka. Maka konsep kepariwisataan yang tepat sasar adalah pariwisata yang berbasis masyarakat/Community Based Tourism/CBT
Community Based Tourism (CBT) searah dengan dengan semangat membangun dari desa. Membangun dari desa/keluarahan, mengangkat dari perkampungan adalah ujung tombak pendakatan yang harus dibangun dalam mewujudkan kesejahateraan.
Menempatkan masyarakat sebagai subjek pembangun berarti memberikan kesempatan yang lebih luas untuk warga sendiri lebih berperan aktif dalam berbagai program. Itu berarti pembangunan pariwisata berbasis masyarakat fokus kepada peningkatan peran serta masyarakat mulai dari perencanan, pelaksanan hingga evaluasi.
Karena itu beberapa hal yang perlu menjadi fokus perhatian dalam membangun pariwisata Berbasi Masyarakat adalah,pertama, membentuk Organisasi Desa Wisata/Lembaga Wisata Desa. Pembentukan ini tentu bertujuan agar berbagai potensi alam dapat dikelola dan dapat mempermudah pembagian peran dalam komunitas supaya lebih terorganisir. Dengannya, komunitas itu kuat secara kelembagaan, progress secara perencanaan, teratur secara pengelolaan. Masyarkat dapat tahu membagi peran, siapa berbuat apa.
Kedua, pendekatan partisipatif. Salah satu tantangan dalam dunia pariwisata adalah lemahnya regulasi yang menggatur soal kepariwisataan. Kasus di Labuan bajo beberapa pulau telah dijual ke investor sebagai akibat lemahnya regulasi yang mengatur kepemilikan tanah. Karena itu, dalam membangun pariwisata berbasis masyarakat pola pendekatan partisipatiflah yang diutamakan.
Masyrakat harus merumsukan sendiri apa yang menajdi aturan dan regulasi dengan berpijak pada undang-undag kepariwisataan. Peran besar masyarakat dengan Kekuatan hukum adatnya harus diberikan ruang lebih luas, pemerintah dan stakheloder lainnya tinggal membantu untuk memfasiltiasi dan memperkuat dalm hal skill dan dan sumberdaya modal dan manusianya.
Ketiga, autentik dan eksotisme. Karakter kepariwisataan adalah keaslian (autentik) dan keanehan (eksotik). Apapun program pembangunan sarana dan prasarana di suatu objek wisata harus tetap menampilkan keasliannya dan memancarkan keanehan. Karena keaslian dan keanehan inilah yang menjadi daya tarik tersediri bagi para wisatawan untuk mempelajarinya.
Semenenisasi sebagaiaman yang kita lihat di TN Komodo atau Kelimutu adalah fakta bahwa proses pembangunan bukannya selaras dengan alam tetapi justru menghilangkan makna keaslian dan keindahan. Penataan lokasi tujuan Wisata namun pembangunan justru dikelolah oleh dinas Pekerjaan umum. Alhasil banyak objek wisata yang dibangun namun bukan berpijak pada pendekatan kepariwisataan, yang ada yang penting jadi, tidak memeprtimbangkan dampak, karakter dan interest dari wisatawan.
Keempat. Tourism without promotion is noting. Pariwisata tanpa promosi adalah nihil. Penguatan kapasitas secara kelembagaan di desa, produk-produk kuliner, paket-paket produk wisata yang dijual, atraksi dan berbagai potensi wisata hanya dapat sampai ke segemen pasar wisata hanya melalui promosi. Karena itu, berabagai strategi promosi seperti Familiaritation trip, Table Top, atau melalui produk-produk brosur, buku-buku atau melaui media social dan elektronik yang memebrikan berbagai informasi wisata harus digalakan. Di sinilah peran pemerintah, NGO, Asoosiasi travel Agen mengambil perannya.
Dengan pola pendekatan macam ini, maka kehadiran pariwisata mampu mencerdaskan masyarakat lokal secara akal, meningkatkan hidup secara ekonomi, menyadarkan orang untuk menjaga serentak melestarikan apa yang menjadi warisan. Kurang suksesnya pembangunan di berbagai bidang di tengah masyarakat diakibatkan karena berbagai program yang diturunkan dari pemerintah lebih menekankan pendekatan top-down, istana-sentris, dari atas yang memeritah, masyakat bawah sebagai pelaksana.
Pariwisata berbasis masyarakat menjadi seruan untuk menyempurnakan pendekatan dalam pembangunan. Ia hadir sebagai pemurnian atas pendekatan yang selama ini berjalan hanya satu arah, CBT lahir sebagai kekuatan bahwa aneka program pemerintah yang kadang kuat secara konseptual namun lemah secara fakta di lapangan (red paradoks) mampu disempurnakan dalam rumah Komunitas Pariwisata.
Eko-wisata
Kepariwisataan adalah aktivitas manusia melakukan rekonstruksi berbagai pengalaman melalui perjalanan, berinteraksi secara seimbang dan bertanggungjawab dengan manusia, alam, dan lingkungan di suatu destinasi. Karakteristik produk wisata adalah tidak terwujud (Intangible), bersifat heterogen, parsihable, tidak dapat dipindahkan, berkaitan dengan pelayanan dan hospitaliti, tidak ada pemindahan kepemilikan tetapi pemanfaatannya tercermin pada penggunaan fasilitas, aksebilitas dan atraksi. Dari semua ini akan membentuk dan menciptakan pengalaman (design of Experience).
Realita Flores dengan keunikan alam, flora dan , taman laut dan relief gunung berapinya telah memberikan identitas yang khas dan unik dalam peradaban pariwisata global. Eko-wisata, inilah grand design yang tepat sasar dengan alam, georafis, iklim dan geologi Flores sebagai destinasi baru di pusaran bumi Nusantara.
Membangun pariwisata dengan design Eco-wisata berarti mimbiarkan apa yang sudah ada pada tempatnya, tidak banyak campurtangan manusia untuk mengubahnya. Alam dibiarkan bercerita, budaya diberikan ruang untuk berkisah, adat istiadat diangkat untuk bertitah. Tak ada yang banyak berubah, yang disentuh dalam pendaketan eco-wisata adalah managemen pemasraan dan pengelolaannya.
Pendekatan eco-wisata akan mengedepankan terjaminnya kualitas lingkungan dan pemanfaatan sumber daya alam yang lestari (Environement Sustainability), ketelibatan masyarkat lokal yang lebih besar (Social Sustanability), terjaminnya kelestarian budaya masyarakat (culture sustainability), secara ekonomis tidak hanya menguntungkan para pihak yang terkait tetapi secara nyata dialokasikan dana untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas lingkungan kawasan dan masyarakat sekitarnya (Economic Sustainability).
Pariwisata telah menjadi peradaban public dan kebudayaan kontemporer. Akibat arus pariwisata dunia yang kian berkembang dan meningkat inilah maka orgaisasi pariwisata dunia (World Tourism Organization-WTO) sejak tahun 1989 menetapakan 27 Septemer tiap tahun sebagai Hari pariwisata Dunia (World Day of Tourism). Pada 27 September 2012 lalu, UN-WTO dalam memperingati Hari Pariwisata Dunia yang berlangsung di Maspalomas, Spanyol menetapkan tema Tourism and Sustainable Energy – Powering Sustainable Development “Pariwisata dan Energi Berkelanjutan: Menghidupkan Pembangunan Berkelanjutan” berkaitan dengan moment hari pariwisata dunia ini, Mentri Kebudayaan dan Pariwisata, Mari Elka Pangestu mengungkapkan bahwa hari pariwisata dunia yang ditetapkan oleh UNWTO dimaksudkan untuk mendorong kesadaran masyarakat internasional akan pentingnya pariwisata sebagai bagian dari pembangunan ekonomi, sosial, dan budaya yang berkelanjutan.
Maka pendekatan Eco-wisata adalah jalannya. Ia lebih memberikan peran dominan keberlanjutan hidup di masa depan. Dalam dimensi kekinian, kita tengah memberikan space hidup untuk anak cucu kita, inilah sumbangan terbesar dari eco-wisata untuk peradaban publik.
Pada titik ini pariwisata dengan formatnya eco-wisata hadir sebagai penyelamat, ia hadir sebagai penebus yang menyelamatkan bumi secara Global karena pendekatannya yang minim sumbangsih pencemaran terhadap lingkungan, secara regional Eco-wisata menjadi aspek mencerahkan komunitas Bumi Nusa Bunga dari Monster Tambang.
Pariwisata hadir sebagai mesias yang mengingatkan pemilik destinasi bahwa Flores masih ada keselamatan dalam hidup, selain tambang. Eco-wisata memberikan ruang bahwa kita menghargai masa depan, sebab selain melestarikan alam tujuan yang dicapai adalah pariwisata yang berkelanjutan. Pariwisata ibarat Sumber Daya kehidupan yang terbarukan, di mana dimensi keberlanjutan atau sustainability diberikan ruang lebih besar untuk beraksi dan berperan. Bersambung
- See more at: http://www.floresbangkit.com/2014/03/pariwisata-flores-penebus-di-tengah-hidup-yang-paradoks/#sthash.WcEknEgd.dpuf
Oleh : Nando Watu Globalisasi telah membawa perubahan yang cukup signifikan. Salah satu dampaknya ialah meningkatnya arus mobilisasi, entah mobilitas manusia dalam berbagai bentuk seperti migrasi turis, refugees, pencari kerja, juga  mobilitas arus uang yang tidak megena batas-batas negara. Mobilitas lain seperti mobilitas teknologi entah mobilitas representasi pencitraan (lewat televisi, radio, film, surat kabar dll) dan tidak kurang pula arus mobilitas ideologi seperti HAM, gender, paham demokrasi dan sebagainya. Semua gejala Globalisasi tersebut dinamakan Culture Flow atau aliran budaya oleh Appadurai (1990).
Sekretaris Tourism Management Organization, TMO KDO Ende
Nando Watu, Sekretaris Tourism Management Organization, TMO KDO Ende
Aliran budaya ini menjadi terejahwantah dalam sebuah fenomena sosial internasional dewasa ini yakni pariwisata Internasional. Sejak tahun 2010 pariwisata telah menjadi industri terbesar di dunia, lebih dari 1 miliar orang berwisata tiap tahunnya.
Dalam skala regional (APEC, ASEAN), pariwisata menjadi salah satu sektor utama pembangunan, secara nasional pariwisata menjadi sektor andalan serta pada tingkat lokal pariwisata menjadi sektor pilihan. Dalam Kontek NTT, MP3EI wilayah Bali dan Nusatenggara masuk dalam zona koridor V, yang mana pariwisata menjadi program unggulan selain perikanan dan peternakan.
Hal ini menggambarkann prospek kepariwisataan tengah berkembang, modal yang harus diinvestasikan demi tujuan kemakmuran masyarakat. Lantas bagamaian sektor yang tengah berkembang secara global ini ditanggapi oleh masyarakat di tingkat lokal?
Pariwisata Berbasis Masyarakat
Pembicaraan mengenai kepariwisataan tidak hanya menyangkut turis atau pendatang, namun lokus penting dalam proses pengembangan kepariwisataan adalah masyarakat. Masyarakat yang adalah pemilik destinasi, pewaris tradisi, dan penjaga kebudayaan, perlu menjadi subjek utama dalam pengembangan dan pembangunan kepariwisataan.
Sebagai subjek dia sebagai kekuatan dasar, untuk itu harus banyak sentuhan pengetahuan tentang kepariwisatan kepada mereka. Apapun program pendekatan pembangunan harus melibatkan masyarakat sebagai tujuan pembangunan sehingga demokrasi dengan pijakan dari oleh dan untuk rakyat mendapat tempatnya.
Lebih lanjut jika menempatkan rakyat, rakyat yang mana? Mayoritas penduduk Flores 80% adalah petani dan nelayan, tinggal di pedesaan, dan pesisir, tinggal dalam realitas yang terkotak dalam komunitas-komunitas adat. Untuk itu fokus utama tentu diarahkan kepada mereka. Maka konsep kepariwisataan yang tepat sasar adalah pariwisata yang berbasis masyarakat/Community Based Tourism/CBT
Community Based Tourism (CBT) searah dengan dengan semangat membangun dari desa. Membangun dari desa/keluarahan, mengangkat dari perkampungan adalah ujung tombak pendakatan yang harus dibangun dalam mewujudkan kesejahateraan.
Menempatkan masyarakat sebagai subjek pembangun berarti memberikan kesempatan yang lebih luas untuk warga sendiri lebih berperan aktif dalam berbagai program. Itu berarti pembangunan pariwisata berbasis masyarakat fokus kepada peningkatan peran serta masyarakat mulai dari perencanan, pelaksanan hingga evaluasi.
Karena itu beberapa hal yang perlu menjadi fokus perhatian dalam membangun pariwisata Berbasi Masyarakat adalah,pertama, membentuk Organisasi Desa Wisata/Lembaga Wisata Desa. Pembentukan ini tentu bertujuan agar berbagai potensi alam dapat dikelola dan dapat mempermudah pembagian peran dalam komunitas supaya lebih terorganisir. Dengannya, komunitas itu kuat secara kelembagaan, progress secara perencanaan, teratur secara pengelolaan. Masyarkat dapat tahu membagi peran, siapa berbuat apa.
Kedua, pendekatan partisipatif. Salah satu tantangan dalam dunia pariwisata adalah lemahnya regulasi yang menggatur soal kepariwisataan. Kasus di Labuan bajo beberapa pulau telah dijual ke investor sebagai akibat lemahnya regulasi yang mengatur kepemilikan tanah. Karena itu, dalam membangun pariwisata berbasis masyarakat pola pendekatan partisipatiflah yang diutamakan.
Masyrakat harus merumsukan sendiri apa yang menajdi aturan dan regulasi dengan berpijak pada undang-undag kepariwisataan. Peran besar masyarakat dengan Kekuatan hukum adatnya harus diberikan ruang lebih luas, pemerintah dan stakheloder lainnya tinggal membantu untuk memfasiltiasi dan memperkuat dalm hal skill dan dan sumberdaya modal dan manusianya.
Ketiga, autentik dan eksotisme. Karakter kepariwisataan adalah keaslian (autentik) dan keanehan (eksotik). Apapun program pembangunan sarana dan prasarana di suatu objek wisata harus tetap menampilkan keasliannya dan memancarkan keanehan. Karena keaslian dan keanehan inilah yang menjadi daya tarik tersediri bagi para wisatawan untuk mempelajarinya.
Semenenisasi sebagaiaman yang kita lihat di TN Komodo atau Kelimutu adalah fakta bahwa proses pembangunan bukannya selaras dengan alam tetapi justru menghilangkan makna keaslian dan keindahan. Penataan lokasi tujuan Wisata namun pembangunan justru dikelolah oleh dinas Pekerjaan umum. Alhasil banyak objek wisata yang dibangun namun bukan berpijak pada pendekatan kepariwisataan, yang ada yang penting jadi, tidak memeprtimbangkan dampak, karakter dan interest dari wisatawan.
Keempat. Tourism without promotion is noting. Pariwisata tanpa promosi adalah nihil. Penguatan kapasitas secara kelembagaan di desa, produk-produk kuliner, paket-paket produk wisata yang dijual, atraksi dan berbagai potensi wisata hanya dapat sampai ke segemen pasar wisata hanya melalui promosi. Karena itu, berabagai strategi promosi seperti Familiaritation trip, Table Top, atau melalui produk-produk brosur, buku-buku atau melaui media social dan elektronik yang memebrikan berbagai informasi wisata harus digalakan. Di sinilah peran pemerintah, NGO, Asoosiasi travel Agen mengambil perannya.
Dengan pola pendekatan macam ini, maka kehadiran pariwisata mampu mencerdaskan masyarakat lokal secara akal, meningkatkan hidup secara ekonomi, menyadarkan orang untuk menjaga serentak melestarikan apa yang menjadi warisan. Kurang suksesnya pembangunan di berbagai bidang di tengah masyarakat diakibatkan karena berbagai program yang diturunkan dari pemerintah lebih menekankan pendekatan top-down, istana-sentris, dari atas yang memeritah, masyakat bawah sebagai pelaksana.
Pariwisata berbasis masyarakat menjadi seruan untuk menyempurnakan pendekatan dalam pembangunan. Ia hadir sebagai pemurnian atas pendekatan yang selama ini berjalan hanya satu arah, CBT lahir sebagai kekuatan bahwa aneka program pemerintah yang kadang kuat secara konseptual namun lemah secara fakta di lapangan (red paradoks) mampu disempurnakan dalam rumah Komunitas Pariwisata.
Eko-wisata
Kepariwisataan adalah aktivitas manusia melakukan rekonstruksi berbagai pengalaman melalui perjalanan, berinteraksi secara seimbang dan bertanggungjawab dengan manusia, alam, dan lingkungan di suatu destinasi. Karakteristik produk wisata adalah tidak terwujud (Intangible), bersifat heterogen, parsihable, tidak dapat dipindahkan, berkaitan dengan pelayanan dan hospitaliti, tidak ada pemindahan kepemilikan tetapi pemanfaatannya tercermin pada penggunaan fasilitas, aksebilitas dan atraksi. Dari semua ini akan membentuk dan menciptakan pengalaman (design of Experience).
Realita Flores dengan keunikan alam, flora dan , taman laut dan relief gunung berapinya telah memberikan identitas yang khas dan unik dalam peradaban pariwisata global. Eko-wisata, inilah grand design yang tepat sasar dengan alam, georafis, iklim dan geologi Flores sebagai destinasi baru di pusaran bumi Nusantara.
Membangun pariwisata dengan design Eco-wisata berarti mimbiarkan apa yang sudah ada pada tempatnya, tidak banyak campurtangan manusia untuk mengubahnya. Alam dibiarkan bercerita, budaya diberikan ruang untuk berkisah, adat istiadat diangkat untuk bertitah. Tak ada yang banyak berubah, yang disentuh dalam pendaketan eco-wisata adalah managemen pemasraan dan pengelolaannya.
Pendekatan eco-wisata akan mengedepankan terjaminnya kualitas lingkungan dan pemanfaatan sumber daya alam yang lestari (Environement Sustainability), ketelibatan masyarkat lokal yang lebih besar (Social Sustanability), terjaminnya kelestarian budaya masyarakat (culture sustainability), secara ekonomis tidak hanya menguntungkan para pihak yang terkait tetapi secara nyata dialokasikan dana untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas lingkungan kawasan dan masyarakat sekitarnya (Economic Sustainability).
Pariwisata telah menjadi peradaban public dan kebudayaan kontemporer. Akibat arus pariwisata dunia yang kian berkembang dan meningkat inilah maka orgaisasi pariwisata dunia (World Tourism Organization-WTO) sejak tahun 1989 menetapakan 27 Septemer tiap tahun sebagai Hari pariwisata Dunia (World Day of Tourism). Pada 27 September 2012 lalu, UN-WTO dalam memperingati Hari Pariwisata Dunia yang berlangsung di Maspalomas, Spanyol menetapkan tema Tourism and Sustainable Energy – Powering Sustainable Development “Pariwisata dan Energi Berkelanjutan: Menghidupkan Pembangunan Berkelanjutan” berkaitan dengan moment hari pariwisata dunia ini, Mentri Kebudayaan dan Pariwisata, Mari Elka Pangestu mengungkapkan bahwa hari pariwisata dunia yang ditetapkan oleh UNWTO dimaksudkan untuk mendorong kesadaran masyarakat internasional akan pentingnya pariwisata sebagai bagian dari pembangunan ekonomi, sosial, dan budaya yang berkelanjutan.
Maka pendekatan Eco-wisata adalah jalannya. Ia lebih memberikan peran dominan keberlanjutan hidup di masa depan. Dalam dimensi kekinian, kita tengah memberikan space hidup untuk anak cucu kita, inilah sumbangan terbesar dari eco-wisata untuk peradaban publik.
Pada titik ini pariwisata dengan formatnya eco-wisata hadir sebagai penyelamat, ia hadir sebagai penebus yang menyelamatkan bumi secara Global karena pendekatannya yang minim sumbangsih pencemaran terhadap lingkungan, secara regional Eco-wisata menjadi aspek mencerahkan komunitas Bumi Nusa Bunga dari Monster Tambang.
Pariwisata hadir sebagai mesias yang mengingatkan pemilik destinasi bahwa Flores masih ada keselamatan dalam hidup, selain tambang. Eco-wisata memberikan ruang bahwa kita menghargai masa depan, sebab selain melestarikan alam tujuan yang dicapai adalah pariwisata yang berkelanjutan. Pariwisata ibarat Sumber Daya kehidupan yang terbarukan, di mana dimensi keberlanjutan atau sustainability diberikan ruang lebih besar untuk beraksi dan berperan. Bersambung
- See more at: http://www.floresbangkit.com/2014/03/pariwisata-flores-penebus-di-tengah-hidup-yang-paradoks/#sthash.WcEknEgd.dpuf
Oleh : Nando Watu Globalisasi telah membawa perubahan yang cukup signifikan. Salah satu dampaknya ialah meningkatnya arus mobilisasi, entah mobilitas manusia dalam berbagai bentuk seperti migrasi turis, refugees, pencari kerja, juga  mobilitas arus uang yang tidak megena batas-batas negara. Mobilitas lain seperti mobilitas teknologi entah mobilitas representasi pencitraan (lewat televisi, radio, film, surat kabar dll) dan tidak kurang pula arus mobilitas ideologi seperti HAM, gender, paham demokrasi dan sebagainya. Semua gejala Globalisasi tersebut dinamakan Culture Flow atau aliran budaya oleh Appadurai (1990).
Sekretaris Tourism Management Organization, TMO KDO Ende
Nando Watu, Sekretaris Tourism Management Organization, TMO KDO Ende
Aliran budaya ini menjadi terejahwantah dalam sebuah fenomena sosial internasional dewasa ini yakni pariwisata Internasional. Sejak tahun 2010 pariwisata telah menjadi industri terbesar di dunia, lebih dari 1 miliar orang berwisata tiap tahunnya.
Dalam skala regional (APEC, ASEAN), pariwisata menjadi salah satu sektor utama pembangunan, secara nasional pariwisata menjadi sektor andalan serta pada tingkat lokal pariwisata menjadi sektor pilihan. Dalam Kontek NTT, MP3EI wilayah Bali dan Nusatenggara masuk dalam zona koridor V, yang mana pariwisata menjadi program unggulan selain perikanan dan peternakan.
Hal ini menggambarkann prospek kepariwisataan tengah berkembang, modal yang harus diinvestasikan demi tujuan kemakmuran masyarakat. Lantas bagamaian sektor yang tengah berkembang secara global ini ditanggapi oleh masyarakat di tingkat lokal?
Pariwisata Berbasis Masyarakat
Pembicaraan mengenai kepariwisataan tidak hanya menyangkut turis atau pendatang, namun lokus penting dalam proses pengembangan kepariwisataan adalah masyarakat. Masyarakat yang adalah pemilik destinasi, pewaris tradisi, dan penjaga kebudayaan, perlu menjadi subjek utama dalam pengembangan dan pembangunan kepariwisataan.
Sebagai subjek dia sebagai kekuatan dasar, untuk itu harus banyak sentuhan pengetahuan tentang kepariwisatan kepada mereka. Apapun program pendekatan pembangunan harus melibatkan masyarakat sebagai tujuan pembangunan sehingga demokrasi dengan pijakan dari oleh dan untuk rakyat mendapat tempatnya.
Lebih lanjut jika menempatkan rakyat, rakyat yang mana? Mayoritas penduduk Flores 80% adalah petani dan nelayan, tinggal di pedesaan, dan pesisir, tinggal dalam realitas yang terkotak dalam komunitas-komunitas adat. Untuk itu fokus utama tentu diarahkan kepada mereka. Maka konsep kepariwisataan yang tepat sasar adalah pariwisata yang berbasis masyarakat/Community Based Tourism/CBT
Community Based Tourism (CBT) searah dengan dengan semangat membangun dari desa. Membangun dari desa/keluarahan, mengangkat dari perkampungan adalah ujung tombak pendakatan yang harus dibangun dalam mewujudkan kesejahateraan.
Menempatkan masyarakat sebagai subjek pembangun berarti memberikan kesempatan yang lebih luas untuk warga sendiri lebih berperan aktif dalam berbagai program. Itu berarti pembangunan pariwisata berbasis masyarakat fokus kepada peningkatan peran serta masyarakat mulai dari perencanan, pelaksanan hingga evaluasi.
Karena itu beberapa hal yang perlu menjadi fokus perhatian dalam membangun pariwisata Berbasi Masyarakat adalah,pertama, membentuk Organisasi Desa Wisata/Lembaga Wisata Desa. Pembentukan ini tentu bertujuan agar berbagai potensi alam dapat dikelola dan dapat mempermudah pembagian peran dalam komunitas supaya lebih terorganisir. Dengannya, komunitas itu kuat secara kelembagaan, progress secara perencanaan, teratur secara pengelolaan. Masyarkat dapat tahu membagi peran, siapa berbuat apa.
Kedua, pendekatan partisipatif. Salah satu tantangan dalam dunia pariwisata adalah lemahnya regulasi yang menggatur soal kepariwisataan. Kasus di Labuan bajo beberapa pulau telah dijual ke investor sebagai akibat lemahnya regulasi yang mengatur kepemilikan tanah. Karena itu, dalam membangun pariwisata berbasis masyarakat pola pendekatan partisipatiflah yang diutamakan.
Masyrakat harus merumsukan sendiri apa yang menajdi aturan dan regulasi dengan berpijak pada undang-undag kepariwisataan. Peran besar masyarakat dengan Kekuatan hukum adatnya harus diberikan ruang lebih luas, pemerintah dan stakheloder lainnya tinggal membantu untuk memfasiltiasi dan memperkuat dalm hal skill dan dan sumberdaya modal dan manusianya.
Ketiga, autentik dan eksotisme. Karakter kepariwisataan adalah keaslian (autentik) dan keanehan (eksotik). Apapun program pembangunan sarana dan prasarana di suatu objek wisata harus tetap menampilkan keasliannya dan memancarkan keanehan. Karena keaslian dan keanehan inilah yang menjadi daya tarik tersediri bagi para wisatawan untuk mempelajarinya.
Semenenisasi sebagaiaman yang kita lihat di TN Komodo atau Kelimutu adalah fakta bahwa proses pembangunan bukannya selaras dengan alam tetapi justru menghilangkan makna keaslian dan keindahan. Penataan lokasi tujuan Wisata namun pembangunan justru dikelolah oleh dinas Pekerjaan umum. Alhasil banyak objek wisata yang dibangun namun bukan berpijak pada pendekatan kepariwisataan, yang ada yang penting jadi, tidak memeprtimbangkan dampak, karakter dan interest dari wisatawan.
Keempat. Tourism without promotion is noting. Pariwisata tanpa promosi adalah nihil. Penguatan kapasitas secara kelembagaan di desa, produk-produk kuliner, paket-paket produk wisata yang dijual, atraksi dan berbagai potensi wisata hanya dapat sampai ke segemen pasar wisata hanya melalui promosi. Karena itu, berabagai strategi promosi seperti Familiaritation trip, Table Top, atau melalui produk-produk brosur, buku-buku atau melaui media social dan elektronik yang memebrikan berbagai informasi wisata harus digalakan. Di sinilah peran pemerintah, NGO, Asoosiasi travel Agen mengambil perannya.
Dengan pola pendekatan macam ini, maka kehadiran pariwisata mampu mencerdaskan masyarakat lokal secara akal, meningkatkan hidup secara ekonomi, menyadarkan orang untuk menjaga serentak melestarikan apa yang menjadi warisan. Kurang suksesnya pembangunan di berbagai bidang di tengah masyarakat diakibatkan karena berbagai program yang diturunkan dari pemerintah lebih menekankan pendekatan top-down, istana-sentris, dari atas yang memeritah, masyakat bawah sebagai pelaksana.
Pariwisata berbasis masyarakat menjadi seruan untuk menyempurnakan pendekatan dalam pembangunan. Ia hadir sebagai pemurnian atas pendekatan yang selama ini berjalan hanya satu arah, CBT lahir sebagai kekuatan bahwa aneka program pemerintah yang kadang kuat secara konseptual namun lemah secara fakta di lapangan (red paradoks) mampu disempurnakan dalam rumah Komunitas Pariwisata.
Eko-wisata
Kepariwisataan adalah aktivitas manusia melakukan rekonstruksi berbagai pengalaman melalui perjalanan, berinteraksi secara seimbang dan bertanggungjawab dengan manusia, alam, dan lingkungan di suatu destinasi. Karakteristik produk wisata adalah tidak terwujud (Intangible), bersifat heterogen, parsihable, tidak dapat dipindahkan, berkaitan dengan pelayanan dan hospitaliti, tidak ada pemindahan kepemilikan tetapi pemanfaatannya tercermin pada penggunaan fasilitas, aksebilitas dan atraksi. Dari semua ini akan membentuk dan menciptakan pengalaman (design of Experience).
Realita Flores dengan keunikan alam, flora dan , taman laut dan relief gunung berapinya telah memberikan identitas yang khas dan unik dalam peradaban pariwisata global. Eko-wisata, inilah grand design yang tepat sasar dengan alam, georafis, iklim dan geologi Flores sebagai destinasi baru di pusaran bumi Nusantara.
Membangun pariwisata dengan design Eco-wisata berarti mimbiarkan apa yang sudah ada pada tempatnya, tidak banyak campurtangan manusia untuk mengubahnya. Alam dibiarkan bercerita, budaya diberikan ruang untuk berkisah, adat istiadat diangkat untuk bertitah. Tak ada yang banyak berubah, yang disentuh dalam pendaketan eco-wisata adalah managemen pemasraan dan pengelolaannya.
Pendekatan eco-wisata akan mengedepankan terjaminnya kualitas lingkungan dan pemanfaatan sumber daya alam yang lestari (Environement Sustainability), ketelibatan masyarkat lokal yang lebih besar (Social Sustanability), terjaminnya kelestarian budaya masyarakat (culture sustainability), secara ekonomis tidak hanya menguntungkan para pihak yang terkait tetapi secara nyata dialokasikan dana untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas lingkungan kawasan dan masyarakat sekitarnya (Economic Sustainability).
Pariwisata telah menjadi peradaban public dan kebudayaan kontemporer. Akibat arus pariwisata dunia yang kian berkembang dan meningkat inilah maka orgaisasi pariwisata dunia (World Tourism Organization-WTO) sejak tahun 1989 menetapakan 27 Septemer tiap tahun sebagai Hari pariwisata Dunia (World Day of Tourism). Pada 27 September 2012 lalu, UN-WTO dalam memperingati Hari Pariwisata Dunia yang berlangsung di Maspalomas, Spanyol menetapkan tema Tourism and Sustainable Energy – Powering Sustainable Development “Pariwisata dan Energi Berkelanjutan: Menghidupkan Pembangunan Berkelanjutan” berkaitan dengan moment hari pariwisata dunia ini, Mentri Kebudayaan dan Pariwisata, Mari Elka Pangestu mengungkapkan bahwa hari pariwisata dunia yang ditetapkan oleh UNWTO dimaksudkan untuk mendorong kesadaran masyarakat internasional akan pentingnya pariwisata sebagai bagian dari pembangunan ekonomi, sosial, dan budaya yang berkelanjutan.
Maka pendekatan Eco-wisata adalah jalannya. Ia lebih memberikan peran dominan keberlanjutan hidup di masa depan. Dalam dimensi kekinian, kita tengah memberikan space hidup untuk anak cucu kita, inilah sumbangan terbesar dari eco-wisata untuk peradaban publik.
Pada titik ini pariwisata dengan formatnya eco-wisata hadir sebagai penyelamat, ia hadir sebagai penebus yang menyelamatkan bumi secara Global karena pendekatannya yang minim sumbangsih pencemaran terhadap lingkungan, secara regional Eco-wisata menjadi aspek mencerahkan komunitas Bumi Nusa Bunga dari Monster Tambang.
Pariwisata hadir sebagai mesias yang mengingatkan pemilik destinasi bahwa Flores masih ada keselamatan dalam hidup, selain tambang. Eco-wisata memberikan ruang bahwa kita menghargai masa depan, sebab selain melestarikan alam tujuan yang dicapai adalah pariwisata yang berkelanjutan. Pariwisata ibarat Sumber Daya kehidupan yang terbarukan, di mana dimensi keberlanjutan atau sustainability diberikan ruang lebih besar untuk beraksi dan berperan. Bersambung
- See more at: http://www.floresbangkit.com/2014/03/pariwisata-flores-penebus-di-tengah-hidup-yang-paradoks/#sthash.WcEknEgd.dpuf
Oleh : Nando Watu Globalisasi telah membawa perubahan yang cukup signifikan. Salah satu dampaknya ialah meningkatnya arus mobilisasi, entah mobilitas manusia dalam berbagai bentuk seperti migrasi turis, refugees, pencari kerja, juga  mobilitas arus uang yang tidak megena batas-batas negara. Mobilitas lain seperti mobilitas teknologi entah mobilitas representasi pencitraan (lewat televisi, radio, film, surat kabar dll) dan tidak kurang pula arus mobilitas ideologi seperti HAM, gender, paham demokrasi dan sebagainya. Semua gejala Globalisasi tersebut dinamakan Culture Flow atau aliran budaya oleh Appadurai (1990).
Sekretaris Tourism Management Organization, TMO KDO Ende
Nando Watu, Sekretaris Tourism Management Organization, TMO KDO Ende
Aliran budaya ini menjadi terejahwantah dalam sebuah fenomena sosial internasional dewasa ini yakni pariwisata Internasional. Sejak tahun 2010 pariwisata telah menjadi industri terbesar di dunia, lebih dari 1 miliar orang berwisata tiap tahunnya.
Dalam skala regional (APEC, ASEAN), pariwisata menjadi salah satu sektor utama pembangunan, secara nasional pariwisata menjadi sektor andalan serta pada tingkat lokal pariwisata menjadi sektor pilihan. Dalam Kontek NTT, MP3EI wilayah Bali dan Nusatenggara masuk dalam zona koridor V, yang mana pariwisata menjadi program unggulan selain perikanan dan peternakan.
Hal ini menggambarkann prospek kepariwisataan tengah berkembang, modal yang harus diinvestasikan demi tujuan kemakmuran masyarakat. Lantas bagamaian sektor yang tengah berkembang secara global ini ditanggapi oleh masyarakat di tingkat lokal?
Pariwisata Berbasis Masyarakat
Pembicaraan mengenai kepariwisataan tidak hanya menyangkut turis atau pendatang, namun lokus penting dalam proses pengembangan kepariwisataan adalah masyarakat. Masyarakat yang adalah pemilik destinasi, pewaris tradisi, dan penjaga kebudayaan, perlu menjadi subjek utama dalam pengembangan dan pembangunan kepariwisataan.
Sebagai subjek dia sebagai kekuatan dasar, untuk itu harus banyak sentuhan pengetahuan tentang kepariwisatan kepada mereka. Apapun program pendekatan pembangunan harus melibatkan masyarakat sebagai tujuan pembangunan sehingga demokrasi dengan pijakan dari oleh dan untuk rakyat mendapat tempatnya.
Lebih lanjut jika menempatkan rakyat, rakyat yang mana? Mayoritas penduduk Flores 80% adalah petani dan nelayan, tinggal di pedesaan, dan pesisir, tinggal dalam realitas yang terkotak dalam komunitas-komunitas adat. Untuk itu fokus utama tentu diarahkan kepada mereka. Maka konsep kepariwisataan yang tepat sasar adalah pariwisata yang berbasis masyarakat/Community Based Tourism/CBT
Community Based Tourism (CBT) searah dengan dengan semangat membangun dari desa. Membangun dari desa/keluarahan, mengangkat dari perkampungan adalah ujung tombak pendakatan yang harus dibangun dalam mewujudkan kesejahateraan.
Menempatkan masyarakat sebagai subjek pembangun berarti memberikan kesempatan yang lebih luas untuk warga sendiri lebih berperan aktif dalam berbagai program. Itu berarti pembangunan pariwisata berbasis masyarakat fokus kepada peningkatan peran serta masyarakat mulai dari perencanan, pelaksanan hingga evaluasi.
Karena itu beberapa hal yang perlu menjadi fokus perhatian dalam membangun pariwisata Berbasi Masyarakat adalah,pertama, membentuk Organisasi Desa Wisata/Lembaga Wisata Desa. Pembentukan ini tentu bertujuan agar berbagai potensi alam dapat dikelola dan dapat mempermudah pembagian peran dalam komunitas supaya lebih terorganisir. Dengannya, komunitas itu kuat secara kelembagaan, progress secara perencanaan, teratur secara pengelolaan. Masyarkat dapat tahu membagi peran, siapa berbuat apa.
Kedua, pendekatan partisipatif. Salah satu tantangan dalam dunia pariwisata adalah lemahnya regulasi yang menggatur soal kepariwisataan. Kasus di Labuan bajo beberapa pulau telah dijual ke investor sebagai akibat lemahnya regulasi yang mengatur kepemilikan tanah. Karena itu, dalam membangun pariwisata berbasis masyarakat pola pendekatan partisipatiflah yang diutamakan.
Masyrakat harus merumsukan sendiri apa yang menajdi aturan dan regulasi dengan berpijak pada undang-undag kepariwisataan. Peran besar masyarakat dengan Kekuatan hukum adatnya harus diberikan ruang lebih luas, pemerintah dan stakheloder lainnya tinggal membantu untuk memfasiltiasi dan memperkuat dalm hal skill dan dan sumberdaya modal dan manusianya.
Ketiga, autentik dan eksotisme. Karakter kepariwisataan adalah keaslian (autentik) dan keanehan (eksotik). Apapun program pembangunan sarana dan prasarana di suatu objek wisata harus tetap menampilkan keasliannya dan memancarkan keanehan. Karena keaslian dan keanehan inilah yang menjadi daya tarik tersediri bagi para wisatawan untuk mempelajarinya.
Semenenisasi sebagaiaman yang kita lihat di TN Komodo atau Kelimutu adalah fakta bahwa proses pembangunan bukannya selaras dengan alam tetapi justru menghilangkan makna keaslian dan keindahan. Penataan lokasi tujuan Wisata namun pembangunan justru dikelolah oleh dinas Pekerjaan umum. Alhasil banyak objek wisata yang dibangun namun bukan berpijak pada pendekatan kepariwisataan, yang ada yang penting jadi, tidak memeprtimbangkan dampak, karakter dan interest dari wisatawan.
Keempat. Tourism without promotion is noting. Pariwisata tanpa promosi adalah nihil. Penguatan kapasitas secara kelembagaan di desa, produk-produk kuliner, paket-paket produk wisata yang dijual, atraksi dan berbagai potensi wisata hanya dapat sampai ke segemen pasar wisata hanya melalui promosi. Karena itu, berabagai strategi promosi seperti Familiaritation trip, Table Top, atau melalui produk-produk brosur, buku-buku atau melaui media social dan elektronik yang memebrikan berbagai informasi wisata harus digalakan. Di sinilah peran pemerintah, NGO, Asoosiasi travel Agen mengambil perannya.
Dengan pola pendekatan macam ini, maka kehadiran pariwisata mampu mencerdaskan masyarakat lokal secara akal, meningkatkan hidup secara ekonomi, menyadarkan orang untuk menjaga serentak melestarikan apa yang menjadi warisan. Kurang suksesnya pembangunan di berbagai bidang di tengah masyarakat diakibatkan karena berbagai program yang diturunkan dari pemerintah lebih menekankan pendekatan top-down, istana-sentris, dari atas yang memeritah, masyakat bawah sebagai pelaksana.
Pariwisata berbasis masyarakat menjadi seruan untuk menyempurnakan pendekatan dalam pembangunan. Ia hadir sebagai pemurnian atas pendekatan yang selama ini berjalan hanya satu arah, CBT lahir sebagai kekuatan bahwa aneka program pemerintah yang kadang kuat secara konseptual namun lemah secara fakta di lapangan (red paradoks) mampu disempurnakan dalam rumah Komunitas Pariwisata.
Eko-wisata
Kepariwisataan adalah aktivitas manusia melakukan rekonstruksi berbagai pengalaman melalui perjalanan, berinteraksi secara seimbang dan bertanggungjawab dengan manusia, alam, dan lingkungan di suatu destinasi. Karakteristik produk wisata adalah tidak terwujud (Intangible), bersifat heterogen, parsihable, tidak dapat dipindahkan, berkaitan dengan pelayanan dan hospitaliti, tidak ada pemindahan kepemilikan tetapi pemanfaatannya tercermin pada penggunaan fasilitas, aksebilitas dan atraksi. Dari semua ini akan membentuk dan menciptakan pengalaman (design of Experience).
Realita Flores dengan keunikan alam, flora dan , taman laut dan relief gunung berapinya telah memberikan identitas yang khas dan unik dalam peradaban pariwisata global. Eko-wisata, inilah grand design yang tepat sasar dengan alam, georafis, iklim dan geologi Flores sebagai destinasi baru di pusaran bumi Nusantara.
Membangun pariwisata dengan design Eco-wisata berarti mimbiarkan apa yang sudah ada pada tempatnya, tidak banyak campurtangan manusia untuk mengubahnya. Alam dibiarkan bercerita, budaya diberikan ruang untuk berkisah, adat istiadat diangkat untuk bertitah. Tak ada yang banyak berubah, yang disentuh dalam pendaketan eco-wisata adalah managemen pemasraan dan pengelolaannya.
Pendekatan eco-wisata akan mengedepankan terjaminnya kualitas lingkungan dan pemanfaatan sumber daya alam yang lestari (Environement Sustainability), ketelibatan masyarkat lokal yang lebih besar (Social Sustanability), terjaminnya kelestarian budaya masyarakat (culture sustainability), secara ekonomis tidak hanya menguntungkan para pihak yang terkait tetapi secara nyata dialokasikan dana untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas lingkungan kawasan dan masyarakat sekitarnya (Economic Sustainability).
Pariwisata telah menjadi peradaban public dan kebudayaan kontemporer. Akibat arus pariwisata dunia yang kian berkembang dan meningkat inilah maka orgaisasi pariwisata dunia (World Tourism Organization-WTO) sejak tahun 1989 menetapakan 27 Septemer tiap tahun sebagai Hari pariwisata Dunia (World Day of Tourism). Pada 27 September 2012 lalu, UN-WTO dalam memperingati Hari Pariwisata Dunia yang berlangsung di Maspalomas, Spanyol menetapkan tema Tourism and Sustainable Energy – Powering Sustainable Development “Pariwisata dan Energi Berkelanjutan: Menghidupkan Pembangunan Berkelanjutan” berkaitan dengan moment hari pariwisata dunia ini, Mentri Kebudayaan dan Pariwisata, Mari Elka Pangestu mengungkapkan bahwa hari pariwisata dunia yang ditetapkan oleh UNWTO dimaksudkan untuk mendorong kesadaran masyarakat internasional akan pentingnya pariwisata sebagai bagian dari pembangunan ekonomi, sosial, dan budaya yang berkelanjutan.
Maka pendekatan Eco-wisata adalah jalannya. Ia lebih memberikan peran dominan keberlanjutan hidup di masa depan. Dalam dimensi kekinian, kita tengah memberikan space hidup untuk anak cucu kita, inilah sumbangan terbesar dari eco-wisata untuk peradaban publik.
Pada titik ini pariwisata dengan formatnya eco-wisata hadir sebagai penyelamat, ia hadir sebagai penebus yang menyelamatkan bumi secara Global karena pendekatannya yang minim sumbangsih pencemaran terhadap lingkungan, secara regional Eco-wisata menjadi aspek mencerahkan komunitas Bumi Nusa Bunga dari Monster Tambang.
Pariwisata hadir sebagai mesias yang mengingatkan pemilik destinasi bahwa Flores masih ada keselamatan dalam hidup, selain tambang. Eco-wisata memberikan ruang bahwa kita menghargai masa depan, sebab selain melestarikan alam tujuan yang dicapai adalah pariwisata yang berkelanjutan. Pariwisata ibarat Sumber Daya kehidupan yang terbarukan, di mana dimensi keberlanjutan atau sustainability diberikan ruang lebih besar untuk beraksi dan berperan. Bersambung
- See more at: http://www.floresbangkit.com/2014/03/pariwisata-flores-penebus-di-tengah-hidup-yang-paradoks/#sthash.WcEknEgd.dpuf